Senin, 05 November 2018

Asal Usul Telaga Ngebel


ASAL USUL TELAGA NGEBEL



Ponorogo adalah salah satu kabupaten di jawa Timur, selain terkenal dengan Reognya, juga terkenal dengan telaga Ngebelnya yang sejuk, asri, dan siap memanjakan pengunjungnya. Bila Anda mampir ke Ponorogo, belum lengkap bila belum menengok salah satu tempat wisata paling legendaris dan paling populer di sana yaitu telaga ngebel.
Telaga ini berada di kecamatan Jenangan, daerah Ponorogo Timur yang berdekatan dengan gunung Wilis. Ngebel sendiri berasal dari bahasa Jawa, ‘ngembel‘ atau berair. Karena, jaman dahulu, ada seorang Wara’i atau orang yang sakti ilmu kanuragan dan ilmu agamanya melewati suatu daerah di kawasan Ponorogo dan melihat fenomena tanah yang berair itu. Maka sang Wara’i pun berujar;
“Ana sak wijining jaman, tlatah iki kasebut Ngembel_Suatu saat daerah ini bernama Ngembel”
Tapi karena lidah yang salah kaprah dalam waktu yang lama dan turun temurun, maka Ngembel pun berubah menjadi Ngebel.

Masyarakat Ngebel sendiri memiliki dongeng tentang asal muasal Telaga yang menjadi icon Ponorogo tersebut. Dongeng tersebut adalah sebagai berikut.

Jaman dahulu kala, ada sepasang suami istri yang tinggal di suatu kampung yang melahirkan anak seekor ular naga. Naga itu diberi nama Baru Klinting. Melihat keanehan wujud Baru Klinting ini, mereka tak berani tinggal di kampung tersebut karena takut menjadi bahan gunjingan tetangga.Mereka pun mengungsi ke puncak gunung untuk mengasingkan diri dan memohon pada dewa agar mengembalikan rupa putra mereka ke wujud manusia.

Doa itu pun didengar. Syarat yang harus dilakukan oleh Baru Klinting adalah melakukan pertapaan selama 300 tahun dengan cara melingkarkan tubuhnya di gunung Semeru. Sayang, panjang tubuhnya kurang sejengkal untuk bisa melingkari seluruh gunung. Maka, untuk menutupi kekurangan itu, ia menyambungkan/ menjulurkan lidahnya hingga menyentuh ujung ekornya.

Rupanya, syarat untuk menjadi manusia tak hanya itu. Dewa meminta sang Ayah agar memotong lidah Baru Klinting yang sedang bertapa tersebut. Baru Klinting yang bersemedi tak menolak toh demi kebaikannya agar menjadi manusia.

Saat waktu bertapa hampir selesai, ada kepala kampung yang akan menikahnya anaknya. Kepala kampung pun sibuk mempersiapkan segala sesuatunya, terlebih lagi soal hidangan. Konon, mereka akan menggelar pesta pernikahan yang sangat mewah dan sangat besar. Untuk menutupi kekurangan bahan makanan, secara sukarela warga pun membantu berburu di hutan. Ada yang mencari buah-buahan, ranting/ kayu bakar hingga hewan buruan seperti rusa, kelinci, maupun ayam hutan.

Sudah beberapa lama warga berburu,namun tak mendapatkan hasil buruan apapun
Tanpa sengaja, ada segolongan warga yang istirahat karena lelah berburu mengayunkan parangnya pada pokok pohon tumbang. Namun, alangkah kagetnya mereka ternyata parang itu malah berlumuran darah. Dari pokok pohon tumbang itu mengucur darah segar. Bahkan, mereka baru sadar kalau yang mereka tebas tadi bukan pohon tumbang tetapi ular raksasa/ ular naga. Melihat hal ini, warga pun beramai-ramai mengambil dagingnya untuk dimasak dalam pesta pernikahan tersebut.

Hari pesta pernikahan anak kepala kampung adalah hari berakhirnya pertapaan Baru Klinting. Benar saja, naga itu berubah wujud menjadi anak kecil. Sayangnya, si anak mengalami kesusahan dalam berbicara karena lidanya dipotong sebagai syarat menjadi manusia. Tak hanya itu, tubuhnya penuh dengan borok yang membusuk lantaran saat bertapa tubunya disayat-sayat untuk diambil dagingnya oleh warga sebagai bahan pesta.

Lalu, anak itu pun mendatangi pesta kepala kampung. Anak itu kelaparan dan memohon agar diberi makanan. Namun, tak satu pun warga yang memedulikannya. Warga malah mengejek dan mengusir anak kecil itu. Melihat nasib anak itu, seorang wanita tua merasa kasihan dan membawanya pulang. Lalu si anak diberi makan dengan lauk berupa daging yang diterima dari pesta kepala kampung. Si anak pun makan dengan lahap tapi dia tak mau memakan daging itu.

“Bu, tadi saya pikir sudah tak ada lagi orang baik di kampung ini. Rupanya, masih ada orang seperti Anda. Bu tolong siapkan lesung (kayu tempat menumbuk padi) bila terjadi sesuatu ibu segeralah naik lesung tersebut” Begitu pesan Baru Klinting selesai makan. Si wanita tua itu pun menuruti ucapan Baru Klinting tanpa banyak pertanyaan kenapa, Lalu, Baru Klinting pun kembali ke tempat pesta.

“Wahai warga semua, lihatlah di tanganku. Aku memiliki sekerat daging. Jika kau mampu memenangkan sayembara yang kuadakan, maka ambillah daging ini. Namun, jika kalian tak mampu, maka berikanlah semua daging yang kalian masak padaku” ucap Baru Klinting.

Warga pun mencoba satu persatu tapi semuanya tak mampu mencabut sebatang lidi tersebut. Sayangnya, warga tetap tak mau mengembalikan daging yang telah mereka masak.

“Lihatlah ketamakan kalian wahai manusia. Lihatlah ketidak pedulian kalian pada sesama, pada manusia yang cacat sepertiku. Bahkan kalian tidak mau mengembalikan hakku! Ketahuilah, daging yang kalian masak itu adalah dagingku saat aku menjadi ular naga. Maka, kalian berhak mendapatkan balasan setimpal!” Baru Klinting pun segera mencabut lidi tersebut.

Keanehan pun terjadi. Dari lidi itu mengucur air, terus menerus hingga menenggelamkan kampung tersebut.

Genangan air itupun berubah menjadi telaga, Sedang orang tua yang memberi makan baru klinting selamat karena naik lesung. Bahkan sejak itu pula, Baru Klinting berubah lagi menjadi ular dengan melingkarkan tubuhnya di dasar telaga yang bentuknya menyempit di bagian bawah itu.Saat ini, telaga itu masuk daerah Ngebel sehingga terkenal dengan telaga Ngebel.


Posted on by Reonald Septiano | No comments

Mitos Dawet Jabung Ponorogo


DAWET JABUNG



"Kenapa penjual dawet Jabung Ponorogo dilarang memberikan lepeknya (alas mangkok) ke pembeli?". Ditanya seperti itu Ani (32) penjual dawet Jabung Bu Sumini di Jalan raya Trunojoyo, sebelah timur SPBU, Tambak Bayan, Kabupaten Ponorogo mendadak terdiam. Alih alih menjawab. Wanita berjilbab itu bahkan melengos. Pendek kata tidak nampak isyarat bakal menggubris pertanyaan.

Ani malah seperti sengaja menyibukkan diri. Di tempatnya duduk meladeni pembeli, tangannya bergerak tak henti-henti. Padahal semua pembeli sudah terladeni. "Nanti tanya saja ke bude saya (Bu Sumini). Kebetulan beliaunya masih keluar, "tuturnya mendadak buka suara.

Ruang lapak jualan itu tidak lebar. Bahkan cenderung sempit. Berbentuk leter U dengan posisi penjual di tengah. Sementara di sisi kanan kiri serta depan, membujur bangku panjang untuk duduk pembeli. Maksimal untuk lima orang dewasa.

Meski merespon pertanyaan, tangan Ani tak kunjung berhenti. Senyumnya malu- malu. Refleknya lebih banyak menundukkan kepala, termasuk selalu menghindari kontak mata. Perlahan diangkatnya gayung bergagang tokoh wayang dari dalam lambung kuali tanah liat. Tampak santan bercampur butiran dawet atau cendol serta gempol, yakni bulatan sebesar pentol bakso. Unsur utama dawet Jabung itu menyatu di ceruk gayung.

Cendol dawet Jabung menggunakan tepung garut atau sagu aren. Bukan tepung beras seperti umumnya kuliner dawet. Mungkin ini yang membuat gurihnya menendang lidah.

Dari santan perhatian Ani berpindah ke mangkuk berisi larutan air garam. Seperti menguji kepekatan. Sendok logam yang tercelup di mangkuk sebentar dia goyang-goyangkan. Tanganya lalu beralih ke mangkuk tape ketan hitam, dan berakhir ke gentong kecil berisi gula kelapa.

Pilihan gula kelapa sebagai pemanis atau juruh menjadi pembeda dengan dawet yang galibnya berjuruh gula tebu. "Kalau musim nangka biasanya ada tambahan buah nangka. Namun sekarang lagi gak musim, "kata Ani menerangkan. Untuk seporsi minuman khas yang menyegarkan itu pembeli cukup merogoh kocek Rp 3.000.

Namun ada juga yang menjual semangkuk Rp 4.000 hingga Rp 8.000. Harga lebih mahal itu biasanya hanya berlaku di tempat wisata. Terkait larangan lepek dibawa pembeli Ani menyebutnya sebagai pamali atau pantangan. Saat dawet disuguhkan, pembeli hanya dibolehkan memegang mangkuk.

Sementara lepek tetap berada di tangan penyajinya. Masih terjaganya tradisi itu praktis membuat seluruh mangkuk peminum dawet Jabung tidak beralas. "Kalau lepek dawet diserahkan, mitosnya penjual akan ikut yang beli, "terangnya sembari tergelak. Ikut ditafsirkan bersedia dilamar atau dinikahi. Tapi kebanyakan dimaknai negatif. Meski dianggap gugon tuhon atau mitos, mayoritas pedagang dawet Jabung tidak cukup berani melanggar.

Begitu juga dengan Ani. Dia mengaku tidak tahu darimana awal mitos itu berasal. Yang dia ketahui, orang tua dan budenya (Bu Sumini) selalu mewanti-wanti untuk tidak sekali kali melanggar tradisi. Bu Sumini yang berjualan dawet Jabung sejak tahun 1995 selalu menyampaikan pesan itu. "Kata orang orang tua tidak elok, "katanya.

Bagaimana dengan pembeli yang sengaja memegang lepek?. Ani mengatakan tidak pernah lupa memberitahu bahwa yang diangkat pembeli mangkuk dawetnya. Namun jika ada pembeli nakal sengaja memegang lepek, dia sendiri yang menyodorkan mangkuknya. "Ya langsung saya ambilkan mangkuknya. Artinya hingga saat saya tidak pernah melanggar pantangan," jelasnya. 
ADVERTISEMENT

Spekulasi yang berkembang, pantangan atau mitos yang berlaku di dawet Jabung disinyalir wujud strategi kebudayaan leluhur Desa Jabung Kecamatan Mlarak. Bisa jadi hadirnya mitos untuk menegakkan norma kesusilaan, yakni khususnya menjaga kehormatan penjual dawet Jabung yang mayoritas perempuan.

"Dan lahirnya mitos biasanya didahului sebuah peristiwa sosial atau ada riwayat sejarahnya," tutur Hyuantoro warga Blitar yang mengaku sudah lama menggemari dawet Jabung.

Legenda Suromenggolo

Bicara kemahsyuran dawet Jabung Ponorogo tidak lepas dari legenda Warok Suromenggolo. Dikisahkan tangan kanan Bathoro Katong itu, yakni putra Brawijaya V (Raja Majapahit) yang juga pendiri sekaligus Bupati pertama Ponorogo itu berduel dengan bangsa lelembut (jin).



Posted on by Reonald Septiano | No comments

Raden BATORO KATONG


BATORO KATONG



PEMBAWA ISLAM PERTAMA & LEGENDARIS PONOROGO
Raden Katong, yang kemudian lazim disebut Batoro Katong, bagi masyarakat Ponorogo mungkin bukan sekedar figur sejarah semata. Hal ini terutama terjadi di kalangan santri yang meyakini bahwa Batoro Katong-lah penguasa pertama Ponorogo, sekaligus pelopor penyebaran agama Islam di Ponorogo.

Batoro Katong, memiliki nama asli Lembu Kanigoro, tidak lain adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari selir yakni Putri Campa yang beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu Kenongo yang berganti nama sebagai Raden Fatah, mendirikan kesultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro mengikut jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di Demak. Prabu Brawijaya V yang pada masa hidupnya berusaha di-Islamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya.

Berdasarkan catatan sejarah keturunan generasi ke-126 beliau yaitu Ki Padmosusastro, disebutkan bahwa Batoro Katong dimasa kecilnya bernama Raden Joko Piturun atau disebut juga Raden Harak Kali. Beliau adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari garwo pangrambe (selir yang tinggi kedudukannya).

Walaupun kemudian Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk di-Islamkan, tetapi perkawinannya dengan putri Cempa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit. Diperistrinya putri Cempa oleh Prabu Brawijaya V memunculkan reaksi protes dari elit istana yang lain. Sebagaimana dilakukan oleh seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam. Seorang penganut Hindu, yang berasal dari Bali.

Tokoh yang terakhir ini, kemudian desersi untuk keluar dari Majapahit, dan membangun peradaban baru di tenggara Gunung Lawu sampai lereng barat Gunung Wilis, yang kemudian dikenal dengan nama Wengker (atau Ponorogo saat ini). Ki Ageng Ketut Suryangalam ini kemudian di kenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu. Dan daerah yang menjadi tempat tinggal Ki Ageng Kutu ini dinamakan Kutu, kini merupakan daerah yang terdiri dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Jetis.

Ki Ageng Kutu-lah yang kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut REOG. Dan reog tidak lain merupakan artikulasi kritik simbolik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak). Dan Ki Ageng Kutu sendiri disimbolkan sebagai Pujangga Anom atau sering di sebut sebagai Bujang Ganong, yang bijaksana walaupun berwajah buruk.

Pada akhirnya, upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat basis di Ponorogo inilah yang pada masa selanjutnya dianggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit. Dan selanjutnya pandangan yang sama dimiliki juga dengan kasultanan Demak, yang nota bene sebagai penerus kejayaan Majapahit walaupun dengan warna Islamnya. Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan investigasi terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu.

Demi kepentingan ekspansi kekuasaan dan Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang putra terbaiknya, yakni yang kemudian dikenal luas dengan Batoro Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain.

Raden Katong akhirnya sampai di wilayah Wengker, lalu kemudian memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan. Saat Batoro Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Budha, animisme dan dinamisme.

Singkat cerita, terjadilah pertarungan antara Batoro Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Batoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu. Kemudian dengan akal cerdasnya Batoro Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan di iming-imingi akan dijadikan istri.

Kemudian Niken Gandini inilah yang dimanfaatkan Batoro Katong untuk mengambil pusaka Koro Welang, sebuah pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu. Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringin Anom Sambit Ponorogo. Hari ini oleh para pengikut Kutu dan masyarakat Ponorogo (terutama dari abangan), menganggap hari itu sebagai hari naas-nya Ponorogo.

Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu ini disebut sebagai Gunung Bacin, terletak di daerah Bungkal. Batoro Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini dimungkinkan dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.

Setelah dihilangkannya Ki Ageng Kutu, Batoro Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia setengah dewa. Hal ini dilakukan, karena Masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan dewa-dewa, dan Batara. Dari pintu inilah Katong kukuh menjadi penguasa Ponorogo, mendirikan istana, dan pusat Kota, dan kemudian melakukan Islamisasi Ponorogo secara perlahan namun pasti.

Pada tahun 1486, hutan dibabat atas perintah Batara Katong, tentu bukannya tanpa rintangan. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makhluk halus yang datang. Namun, karena bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar.

Lantas, bangunan-bangunan didirikan sehingga kemudian penduduk pun berdatangan. Setelah menjadi sebuah Istana kadipaten, Batara Katong kemudian memboyong permaisurinya, yakni Niken Sulastri, sedang adiknya, Suromenggolo, tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel. Oleh Katong, daerah yang baru saja dibangun itu diberi nama Prana Raga yang berasal atau diambil dari sebuah babad legenda "Pramana Raga". Menurut cerita rakyat yang berkembang secara lisan, Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni dan Raga artinya Jasmani. sehingga kemudian dikenal dengan nama Ponorogo.

Kesenian Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai di eliminasi dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif tentang Kerajaan Bantar Angin sebagai sejarah reog. Membuat kesenian tandingan, semacam jemblungan dan lain sebagainya. Para punggawa dan anak cucu Batoro Katong, inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam.

Dalam konteks inilah, keberadaan Islam sebagai sebuah ajaran, kemudian bersilang sengkarut dengan kekuasaan politik. Perluasan agama Islam, membawa dampak secara langsung terhadap perluasan pengaruh, dan berarti juga kekuasaan. Dan Batoro Katong-lah yang menjadi figur yang diidealkan, penguasa sekaligus ulama.

Beliau kemudian dikenal sebagai Adipati Sri Batoro Katong yang membawa kejayaan bagi Ponorogo pada saat itu, ditandai dengan adanya prasasti berupa sepasang batu gilang yang terdapat di depan gapura kelima di kompleks makam Batoro Katong dimana pada batu gilang tersebut tertulis candrasengkala memet berupa gambar manusia, pohon, burung ( Garuda ) dan gajah yang melambangkan angka 1418 aka atau tahun 1496 M.

Batu gilang itu berfungsi sebagai prasasti "Penobatan" yang dianggap suci. Atas dasar bukti peninggalan benda-benda purbakala tersebut dengan menggunakan referensi Handbook of Oriental History dapat ditemukan hari wisuda Batoro Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo, yakni pada hari Ahad Pon Tanggal 1 Bulan Besar, Tahun 1418 saka bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 M atau 1 Dzulhijjah 901 H. Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.

Batoro Katong dikenal memiliki sebuah pusaka tombak bernama Kyai Tunggul Naga. Tombak ini memiliki pamor kudung, tangkainya dari sulur pohon jati dan terdapat ukiran naga, dengan ukuran panjang kira-kira 60 cm.

Ada dua versi tentang asal muasal tombak pusaka tersebut. Yang pertama versi keturunan Demang Kutu Ki Ageng Suryangalam dan versi Babad Ponorogo.

Versi keturunan Demang Kutu, menyebutkan bahwa tombak Kyai Tunggul Naga dulunya milik Ki Ageng Suryangalam yang menjadi demang di Kutu. Dimana, Demang Suryangalam yang sebelumnya pujangga di istana Majapahit pergi meninggalkan istana karena kecewa. Nasehat-nasehatnya untuk menata negeri Majapahit tidak didengarkan oleh Prabu Kertabhumi. Menjelang runtuhnya kerajaan besar itu, keadaan negeri semrawut, bobrok. Banyak gerakan separatis ingin memisahkan diri dari Majapahit.

Sikap oposan Demang Suryangalam ini membuat Prabu Kertabhumi marah, ia kemudian menyuruh salah seorang puteranya yang bernama Raden Batara Katong untuk menangkap Demang Suryangalam. Setelah berhasil mengalahkan Demang Kutu, Raden Batara Katong kemudian memiliki tombak Kyai Tunggul Naga. Adapun tombak itu aslinya berasal dari Tuban, pusaka Adipati Tuban Ranggalawe. Tombak Kyai Tunggul Naga dikenal sebagai pusaka yang ampuh.

Sedang menurut versi Babad Ponorogo, tombak Kyai Tunggul Naga diperoleh Batara Katong dari hasil bersemadi di sebuah tanah lapang tanpa rumput sehelai pun yang disebut ara-ara. Waktu itu Ponorogo masih disebut Wengker. Raden Batara Katong ditemani oleh Ki Ageng Mirah, Patih Seloaji dan Jayadipa. Dari ara-ara itu didapatkan tombak Kyai Tunggul Naga, payung dan sabuk.

Sampai saat ini, nama Batoro Katong, di abadikan sebagai nama Stadion dan sebuah jalan utama Ponorogo. Batoro Katong-pun selalu di ingat pada peringatan Hari Jadi Ponorogo, tanggal 1 Suro. Pada saat itu, pusaka tumbak Kara Welang di kirab dari makam Batoro Katong di kelurahan Setono, Kota Lama, menuju Pendopo Kabupaten. Menurut Amrih Widodo (1995), pusaka sebagai artefact budaya memang seringkali diangkat statusnya oleh kekuasaan pemerintah lokal, sebagai totems, suatu yang secara sengaja di keramatkan dan menjadi simbol identitas lokal.

Hal inilah yang menunjukkan Batoro Katong memang tak bisa lepas dari alam bawah sadar masyarakat Ponorogo, dan menjadi simbol masa lalu (sejarah) sekaligus bagian dari masa kini. Batoro Katong bukan sekedar bagian dari realitas masa lalu, namun adalah bagian dari masa kini. Hidup di alam hiperealitas, dan menjadi semacam belief yang boleh emosi, keyakinan, kepercayaan masyarakat. Mengutip The Penguin Dictionary of Psycology, Niniek L.Karim mendefinisikan belief sebagai penerimaan emosional terhadap suatu proposisi, pernyataan dan doktrin tertentu.

Bagi kalangan tokoh-tokoh muslim tradisional, Batoro Katong tidak lain adalah peletak dasar kekuasaan politik di Ponorogo, dan lebih dari itu seorang pengemban misi dakwah Islam pertama. Posisinya sebagai penguasa sekaligus ulama pertama Ponorogo inilah yang menjadi menarik untuk dilacak lebih jauh, terutama dalam kaitan membaca wilayah alam bawah sadar yang menggerakkan kultur politik kalangan pesantren, khususnya elit-elitnya (kyai dan para pengasuh pesantren) di Ponorogo.

Alam bawah sadar inilah yang menurut psikolog Freudian, dominan menggerakkan perilaku manusia. Dan alam bawah sadar ini terbentuk dari tumpukan keyakinan, nilai, trauma-trauma yang terjadi dimasa lalu, yang kemudian hidup terus di bawah kesadaran individu dan suatu masyarakat dari waktu ke waktu.

Bagi masyarakat Ponorogo, Batoro Katong adalah tokoh dan penguasa pertama yang paling legendaris dalam masyarakat Ponorogo. Sampai saat ini Batoro Katong adalah simbol kekuasaan politik yang terus dilestarikan oleh penguasa di daerah ini dari waktu ke waktu. Tidak ada penguasa Ponorogo, yang bisa melepaskan dari figur sejarah legendaris ini.


Posted on by Reonald Septiano | No comments

Legenda Golan Mirah Ponorogo


GOLAN MIRAH



Sebagai warga Ponorogo tentu kita pernah dengar mitos tentang desa Golan dan Desa Mirah yang berada di Kecamatan Sukorejo. Mitos itu terus berkembang dalam masyarakat sejak dahulu hingga sekarang. Diantara mitos tersebut adalah air dari desa Golan tidak mau bercampur dengan air dari Desa Mirah, orang akan mengalami kebingungan ketika membawa benda atau barang dari Golan ke Mirah dan sebaliknya. Adalagi orang Mirah tidak diperkenankan menanam kedelai, orang Golan dan Mirah jika bertemu ditempat orang hajatan dimana saja akan mengalami gangguan, tidak akan terjadi perkawinan antara orang Golan dan Mirah.
Itulah beberapa mitos yang berkembang dimasyarakat. Berkembangnya mitos tersebut tidak lepas dari cerita turun menurun yang diwariskan leluhur. Cerita tersebut terus berkembang dimasyarakat hingga sekarang. Berikut sedikit cerita Golan Mirah
****
Pada zaman dahulu di Desa Golan hiduplah seoarang tokoh terkenal yang memiliki kesaktian yang tinggi serta gagah berani sehingga disegani oleh masyarakat sekitar. Orang itu bernama Ki Honggolono. Karena kebijaksanaan dan kelebihan-kelebihan yang dimiliki Ki Honggolono, beliau diangkat menjadi Palang atau kepala desa dan mendapat sebutan Ki Bayu Kusuma. Ki Honggolono memiliki adik sepupu yang bernama Ki Honggojoyo yang lebih dikenal dengan sebutan Ki Ageng Mirah. Ki Honggolono memiliki seorang putra yang tampan dan gagah perkasa yang bernama Joko Lancur. Joko Lancur adalah pemuda tampan yang mempunyai hobi menyabung ayam dan mabuk-mabukan. Sedangkan Ki Ageng Mirah mempunyai putri yang sangat cantik yang bernama Mirah Putri Ayu. Mirah Putri Ayu menjadi bunga desa dan mendapat julukan Mirah Kencono Wungu.
Joko Lancur memiliki kegemaran menyabung ayam, kemanapun ia pergi tak pernah pisah dari ayam jago kesayangannya. Pada suatu hari ketika akan menyabung ayam, Joko Lancur melewati Mirah. Ditempat itulah ayam kesayangannya lepas. Maka gundahlah hatinya Karena peristiwa itu. Berbagai cara dilakukannya untuk menangkap ayam itu namun tidak berhasil. Sampai akhirnya ayam tersebut masuk ke ruang dapur Ki Ageng Mirah. Mirah Putri Ayu yang sedang membatik di dapur sangatlah terkejut melihat ada seekor ayam jantan yang masuk ke dalam rumahnya. Mirah Putri Ayu berhasil menangkap ayam tersebut, dan sangatlah senang hatinya karena ternyata ayam tersebut sangatlah jinak.
Tak lama kemudian masuklah Joko Lancur yang mencari ayamnya, alangkah kagetnya Joko Lancur melihat ayam kesayangannya berada dalam pelukan perawan jelita yang belum dikenalnya. Joko Lancur tidak segera meminta ayam kesayangannya, namun terpesona kecantikan Mirah Putri Ayu. Sebaliknya Mirah Putri Ayu juga sangat mengagumi ketampanan Joko Lancur. Keduanya saling curi pandang, berkenalan hingga menaruh suka diantara mereka. Joko Lancur tidak mengetahui jika ternyata pamannya Ki Ageng Mirah memiliki putri yang sangat cantik dikarenakan Mirah Putri Ayu merupakan gadis pingitan yang tidak boleh bergaul dengan sembarang orang. Ditengah keasyikan obrolan mereka, tiba-tiba Ki Ageng Mirah masuk kedapur dan menemukan Joko Lancur sedang berdua dengan putrinya. Ki Ageng Mirah marah kepada Joko Lancur karena dianggap tidak memiliki tata karma serta tidak memiliki sopan santun karna telah berani masuk kerumah orang lain tanpa meminta ijin pemilik rumahi terlebih dahulu. Joko Lancur menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya, namun Ki Ageng Mirah tidak mau peduli penjelasan Joko Lancur. Akhirnya Joko Lancur diusir dan disuruh segera meninggalkan rumah Ki Ageng Mirah. Joko Lancur segera pulang dengan perasaan malu dan cemas, namun dibenaknya selalu teringat akan kecantikan Mirah Putri Ayu.
Waktu terus berjalan, Joko Lancur tidak seperti biasanya yang selalu pergi dengan ayam kesayangannya, namun Joko Lancur lebih sering mengurung diri dalam kamar, sering melamun,menyendiri, sering tidak makan dan tidak tidur karena memikirkan Mirah Putri Ayu. Keadaan ini akhirnya diketahui ayahnya Ki Honggolono. Setelah ditanya, Joko Lancur menyampaikan kepada ayahnya jika dirinya sedang jatuh hati pada Mirah Putri Ayu. Karena Joko Lancur merupakan anak semata wayangnya, Ki Honggolono segera menuruti keinginan putranya untuk melamarkan Mirah Putri Ayu.
Berangkatlah Ki Honggolono menuju rumah Ki Ageng Mirah untuk melamar Mirah Putri Ayu. Kedatangan Ki Honggolono disambut dengan muka ceria oleh Ki Ageng Mirah, meskipun dalam benak Ki Ageng Mirah tidak sudi memiliki calon mantu seorang penjudi sabung ayam. Ki Ageng Mirah berupaya menolak lamaran tersebut dengan cara yang halus agar tidak menusuk perasaan keluarga Ki Honggolono, maka diterimalah lamaran tersebut dengan beberapa syarat diluar kemampuan manusia. Syarat yang diajukan Ki Ageng Mirah adalah supaya dibuatkan bendungan sungai untuk mengairi sawah-sawah di Mirah serta serahan berupa padi satu lumbung yang tidak boleh diantar oleh siapapun, dalam arti lumbung tersebut berjalan sendiri. Syarat tersebut disanggupi oleh Ki Honggolono.
Dengan kesanggupan Ki Honggolono untuk memenuhi persyaratan tersebut, Ki Ageng Mirah merasa khawatir dan berusaha menggagalkan pembuatan bendungan dan pengumpulan padi yang dilakukan Ki Honggolono. Sementara itu Ki Honggolono dengan bantuan murid-muridnya bekerja keras untuk membuat bendungan dan mengumpulkan padi. Berkat kerja kerasnya dalam waktu yang singkat syarat yang diajukan Ki Ageng Mirah mendekati keberhasilan. Dengan melihat apa yang dilakukan Ki Honggolono, Ki Ageng Mirah menemukan strategi untuk menggagalkan apa yang dilakukan Ki Honggolono. Ki Ageng Mirah meminta bantuan Genderuwo untuk mengganggu pembuatan bendungan serta mencuri padi-padi yang sudah dikumpulkan.
Apa yang dilakukan Ki Ageng Mirah diketahui oleh Ki Honggolono. Ki Honggolono tidak mau lagi mengisi lumbung dengan padi, tetapi diganti dengan damen (jerami) dan titen (kulit kedelai). Dengan kesaktian yang dimiliki Ki honggolono, damen dan titen tersebut disabda menjadi padi. Mengetahui isi lumbung bujan padi, genderuwo utusan Ki ageng Mirah beralih mengganggu pembuatan bendungan dengan menjebol bendungan yang belum selesai dibuat. Namun ternyata hal tersebut juga diketahui oleh Ki Honggolono. Ki Hongggolono kemudian meminta bantuan kepada buaya yang jumlahnyaa ribuan untuk menangkap genderuwo ketika mengganggu pembuatan bendungan. Akhirnya genderuwo dapat dikalahkan dan pembuatan bendungan berjalan lancar.
Semua persyaratan sudah lengkap, Ki Honggolono menyabda lumbung padi untuk berangkat sendiri, diikuti oleh rombongan mempelai laki-laki. Awal kedatangan rombongan mempelai laki-laki disambut baik oleh Ki Ageng Mirah. Namun Ki Ageng Mirah juga bukan orang biasa, dengan kesaktiannya Ki Ageng Mirah tahu apa isi sebenarnya lumbung padi yang dibawa mempelai laki-laki. Dihadapan para tamu yang hadir Ki Ageng  Mirah menyabda lumbung tersebut dan seketika berubahlah padi dalam lumbung menjadi damen dan titen.
Dengan peristiwa tersebut terjadilah adu lidah dan berlanjut adu fisik antara Ki Honggolono dan Ki Ageng Mirah. Ketika terjadi percekcokan, Joko lancur mencari mirah Putri Ayu, keduanya tahu apa yang terjadi diantara kedua ayahnya sehingga mereka memutuskan untuk bunuh diri bersama. Masih bersamaan terjadinya peperangan, bendungan yang dibuat Ki Honggolono ambrol dan terjadilah banjir bandang yang menewaskan banyak orang.
Usai peperangan Ki Honggolono berhari-hari mencari putra kesayangannya, Joko Lancur. Tetapi ternyata ketika ditemukan putranya sudah tewas bersama kekasih dan ayam kesayangannya. Jasad Joko Lancur kemudian dimakamkan bersama ayam jagonya dan makam tersebut diberi nama Kuburan Setono Wungu.
Dari peristiwa yang telah usai, dihadapan para muridnya Ki Honggolono besabda : “Wong Golan lan wong Mirah ora oleh jejodhoan. Kaping pindo,isi-isine ndonyo soko Golan kang ujude kayu, watu, banyu lan sapanunggalane ora bisa digowo menyang Mirah. Kaping telu, barang-barange wong Golan Karo Mirah ora bisa diwor dadi siji. Kaping papat, Wong Golan ora oleh gawe iyup-iyup saka kawul. Kaping limone, wong Mirah ora oleh nandur, nyimpen lan gawe panganan soko dele.
Semenjak kehilangan putra kesayangannya Ki Honggolono  banyak merenung. Walaupun banyak harta melimpah ternyata tidak membuat hidupnya tenang dan tidak mendapatkan ketenangan batin. Akhirnya Ki Honggolono insyaf dan taubat atas semua perbuatannya dan mulai belajar syariat Islam. Demikian juga yang dilakukan Ki ageng Mirah, karena peristiwa tersebut beliau kemudian berguru ke seorang Kiyai.
***
Itulah cerita yang berkembang di masyarakat, percaya atau tidak semua dikembalikan kepada pribadi masing-masing




Posted on by Reonald Septiano | No comments

Jumat, 02 November 2018

KLONO SEWANDHANA




prabu klono sewandhono raja kerajaan bantarangin
Kota Ponorogo memang kaya budaya, kaya sejarah.. dari mulai  sejarah kesenian reyog, sejarah pemberontakan kiageng kutu, sejarah pertikaian antara ki ageng Honggolono dan ki Ageng Mirah, dan masih banyak yang lain yang pastinya akan tetep dibahas dikemudian hari diblog situs kebudayaan dan kesenian reyog ponorogo ini.
menengok sekilas tentang kotareyog ponorogo, tidak lengkap rasanya bila tidak mengetahui siapakah sang penguasa bumi yang diklaim sebagai pusatnya dan asalnya kesenian reyog ponorogo, diciptakan. yaa.. dialah Raja Klono Sewandhono.
Sejarah Singkat Prabu Klono Sewandhono :
1. Pertapaan Gunung Lawu
Ki Andjar Lawu menpunyai 2 (dua) orang murid yang bernama Klono Sewandono dan Pujonggo Anom. Setelah dibina sekian tahun lamanya mereka dinyatakan lulus dan mendapatkan kesaktian yaitu :
– Prabu Klono Sewandono : Pecut (Cemeti) Samandiman
– Pujonggo Anom : Ajian Welut Putih dan Topeng Sakti2. Kerajaan Bantarangin
Setelah dari Gunung Lawu Klono Sewandono melanjutkan perjalanan dan mendirikan Kerajaan Bantarangin dengan gelar Sang Prabu Sri Kelono Sewandono. Kemudian Pujonggo Anom diangkat sebagai Patihnya. Adapun bala tentara Kerajaan Bantarangin adalah Pasukan Kolor Sakti (Warok) dan Prajurit Berkuda (Jatilan).3. Alas(Hutan) Ludoyo
Alas Lodoyo dengan Penguasanya Sang Singo Barong yang berwujud kepalanya harimau badannya manusia. Penguasa sakti yang sangat buas, mempunyai pasukan bala tentara jin, setan dan seluruh binatang.penghuni hutan (alas roban). Sang Singo Barong ini mempunyai ajian sakti yaitu Ajian Macan putih, dan juga mempunyai hewan kesayangan yaitu Burung Merak yang mempunyai tugas membersihkan kutu-kutu yang ada di kepalanya.4. Kerajaan Kediri
Raja Kediri mengadakan sayembara untuk peminangan putrinya yang bernama Dyah Ayu Songgolangit, adapun putrinya ingin dipersunting oleh para pelamar manapun dengan persyaratan :
1. Dibuatkan terowongan bawah tanah dalam waktu semalam.
2. Menginginkan binatang dengan bentuk satu badan dua kepala.
3. Menciptakan kesenian yang belum ada di tanah jawa sebagai iring-iringnan pernikahannya.5. Pelamaran Raja Bantarangin
Prabu Sri Klono Sewandono menyanggupi persyaratan tersebut, kemudian untuk syarat pertama sudah dipenuhi melalui kesaktian Patih Pujonggo Anom (Ajian Welut Putih) membuat terowong dalam waktu semalam.
Setelah persyaratan pertama terpenuhi kemudian Patih Pujonggo Anom membawa iring-iringan pasukan Bantarangin yang terdiri dari 144 prajurit berkuda dan pasukan kolor sakti (warok) menuju Kerajaan Kediri melalui hutan belantara, akan tetapi pasukan tersebut di hadang oleh Sang Singo Barong dan terjadilah pertempuran yang dimenangkan Sang Singo Barong. Kemudian Patih Pujonggo Anom melaporkan kejadian tersebut kepada Prabu Sri Kelono Sewandono, marah besar sudah Raja Bantarangin tersebut-langsung saja dia maju dimedan laga seorang diri menghadapi Raja Singo Barong. Adu kesaktianpun terjadi, dengan Pecut (Cemeti) Samandiman luluh lantah sudah Raja Singo Barong dan mengakui kekalahannya dengan berjanji bahwa sampai anak cucunya dia akan mengabdi kepada Raja Bantarangin tersebut.
Dengan kekalahan Raja Singo Barong tersebut telah terpenuhi syarat kedua, yaitu binatang satu badan dua kepala (harimau & merak).
Selanjutnya syarat ketiga dipenuhi dengan menggambungkan berbagai alat musik gamelan yang ada di tanah Bantarangin seperti : Gong Beri, Kenong, Selompret (Terompet), dan lain-lain. Pada awalny gamelan tersebut merupakan alat sandi untuk kepentingan rakyat, seperti Gong Beri dan Kenong/kempul, merupakan alat memanggil penduduk sebagai tanda pengumuman dari Raja dan Terompet (selompret) sebagai tanda penghormatan kepada Raja. Adapun Singo Barong dan Binatang kesayangannya (Burung Merak) – Satu Badan Dua Kepala, melengkapi serah-serahan Kerajaan Bantarangin. Inilah asal muasal terjadinya KESENIAN REYOG PONOROGO.


Posted on by Reonald Septiano | No comments

DEWI SONGGOLANGIT

KISAH SANG DEWI YANG MELEGENDA



Hello my friend!!! Iya masih bersama saya lagi di blogs CERITA SAYA. Sesuai janji saya pada postingan sebelumnya kita akan membahas siapakah Dewi Songgolangit itu?!?  Taukah kalian siapa Dewi Songgolangit itu??? Dewi Songgolangit itu kakak ku,,,, bukan kok Cuma bercanda agar gak tegang hahaha......
PATUNG DEWI SONGGOLANGIT
Akan saya beritau ya friend Dewi Songgolangit adalah putri dari Raja Airlangga. Dewi Songgolangit ini mempunyai paras wajah yang cantik berbudi pekerti luhur sehingga menjadi daya tarik bagi raja-raja dan putra mahkota di Pulau Jawa pada saat itu.
Dewi Songgolangit mempunyai adik yang bernama Pujang anom, Pujang anom tidak tertarik dengan tahta Kerajaan Kediri akahirnyapun ia mengabdi di Kerajaan Bantarangin yang dipimpin oleh Raja Klana sewandana. Ia menjadi patih di Kerajaan Bantarangin tersebut.
Pada suatu hari Raja Klana sewandana ingin menikah dan mengutarakan maksudnya kepada sang patih. Sang patih mengusulkan agar sang raja meminang putri dari Kediri yaitu Dewi Songgolangit yang mana sang putri adalah kakak dari patih Pujang anom.
Dan  Raja Klana sewandana memerintah patihnya (Pujang anom) untuk melamar kakaknya, supaya keluarganya tidak mengetahui bahwa yang melamar tersebut adalah saudaranya sendiri maka Pujang anom datang dengan mengenakan topeng berwarna merah yang dipinjami oleh rajanya, pujang anom menggunakan nama samaran dengan nama Bujang ganong.
Pada prosesnya Raja Airlangga dan Dewi Songgolangit mengetahui bahwa sang pelamar adalah Pujang anom, lamaran itu ditolak oleh sang raja. Pujang anom pulang ke Kerajaan Bantarangin untuk memberi laporan, lalu Raja Klana sewandana berangkat ke Kerajaan Kediri untuk melamar Dewi songgolangit.
Lalu dalam perjalanan ke Kerajaan Kediri Raja Klana sewandana bertemu dengan Raja Singa Lodaya dari kerajaan Lodaya (Blitar),Raja Singa Lodaya memiliki paras wajah yang menyeramkan Raja Singa Lodaya bertubuh manusia berkepala singa, yang ditemani oleh patihnya yang berkepala Babi hutan/celeng yang bernama Celeng srenggi, hi...... mengerikan bukan?!?. Yang juga berniat yang sama yaitu untuk melamar Dewi Songgolangit, merasa keduanya bersaing maka disitulah terjadi peperangan antara Raja Klana sewandana dan Raja Singa lodaya sehingga tidak dapat dielakan karena begitu sangat dasyatnya peperangan itu. Raja Singa lodaya sangat sakti sekali akhirnya Raja Kelana sewandana mengeluarkan senjatanya yaitu topeng berwarna merah dan cemeti samandiman dan dibantu patih Pujang anom yang juga memiliki kesaktian yang luar biasa. Dalam peperangan itu Raja Singa lodaya dapat ditahlukan oleh  Raja Kelana sewandana .
Raja Singa lodaya meminta ampun kepada Raja Kelana sewandana agar nyawanya tidak dihabisi,  Raja Kelana sewandana memiliki syarat yaitu Raja Singa lodaya tidak boleh datang ke kerajaan Kediri untuk melamar Dewi Songgolangit dan apabila Raja Kelana sewandana manikah dengan Dewi Songgolangit Raja Singa lodaya harus mengiringi pengantin dari kediri sampai Bantarangin tetapi tidak boleh melewati atas tanah.
Maka dari itu Raja Singa lodaya membuat jalan bawah tanah yang dimulai dari Goa Selomangleng hingga tembus di pantai selatan Pulau Jawa.
Setelah Raja Kelana sewandana sampai di Kerajaan Kediri Dewi Songgolangit tidak mau menikahi Raja Kelana Sewandana , Dewi Songgolangit memberikan syarat, syarat dari Dewi Songgolangit adalah apabila Raja Kelana Sewandana dapat membuat kesenian yang belum ada di Kediri maka Raja Kelana Sewandana dapat menikahi Dewi Songgolangit.
Karena nasehat kecerdikan pujang anom maka ia terinspirasi dari kelemahan Raja Singa lodaya yaitu apabila di tabuhi Raja Singa lodaya akan menari terus tanpa henti. Akhirnya terciptalah kesenian tari jaranan di Kediri dan reog di Ponorogo.
Tari jaranan dan reog ini digunakan untuk mengiring pengantin Dewi Songgolangit dan para pemainnya adalah Raja Singa lodaya dan prajuritnya.
Dari pernikahan Dewi Songgolangit inilah, asal mula tari jaranan dan reog ini ada. Bagaimana menurut kalian friend? Sekian CERITA SAYA, semoga bermanfaat.....
Posted on by Reonald Septiano | No comments

Grebeg Suro Kota PONOROGO


GREBEG SURO KOTA PONOROGO


Ponorogo (beritajatim.com) - Gelaran Grebeg Suro menjadi tradisi menjelang pergantian tahun dalam kalender hijriyah maupun penanggalan jawa di Ponorogo secara resmi dimulai Sabtu (1/9/2018) malam. 

Hal ini ditandati dengan hentakan pecut oleh Bupati Ponorogo Ipong Muchlissoni diikuti oleh seluruh Forkopimda Ponorogo di atas panggung Pembukaan Grebeg Suro 2018 di Alun-Alun Ponorogo. Sebanyak 33 kegiatan akan digelar untuk memeriahkan Grebeg Suro kali ini. 

Ipong menyatakan, pada 2018 ini Grebeg Suro dibarengkan pelaksanaannya dengan Perayaan Hari Jadi ke-522 Ponorogo yang jatuh pada 12 Agustus. Hal ini demi efisiensi dan efektifitas kegiatan tahunan ini. Namun Gerebg Suro yang biasana dilaksanakan selama satu pekan, kali ini dilangsungkan 11 hari dari tanggal 1 September hingga 11 September mendatang. 

Menurut Ipong, Grebeg Suro merupakan tradisi yang sudah ratusan tahun ada di Ponorogo dan terus dilestarikan. Hanya saja, sejak dua hingga tiga dawarasa terakhir dikemas dengan kegiatan yang lebih terarah. Berbagai ameran dan lomba digelar. Mulai dari pameran berbagai produk seperti pameran bonsai, pameran produk UMKM, berbagai lomba. 

Grebeg Suro akan dipuncaki dengan Kirab Pusaka dari Kota Lama menuju Kutho Tengah atau pendopo serta tumpeng purak pada 10 September dan Larung Risalah di Telaga Ngebel pada 11 September mendatang. Totalnya, kegiatan Grebeg Suro 2018 ini akan berlangsung selama 11 hari.  

Dan, yang paling ditunggu adalah festival reyog yang saat ini bernama Festival Nasional Reyog Ponorogo (FNRP) dan Festival Reyog Mini (FRM). 

“Kegiatan ini menjadikan Reyog Ponorogo semakin dikenal di kancah nasional bahkan internasional. Bahkan kita harus bersiap-siap untuk tampil di depan para pengamat budaya dan petinggi UNESCO di Paris untuk pengakuan Reyog Ponorogo sebagai peninggalan budaya tak benda,” ungkapnya. 

Acara yang sekaligus pembukaan FRM ke-16 dan FNRP ke-25 itu didahului dengan kirab Piala Suromenggolo untuk FRM dan Piala Presiden untuk FNRP. Tampil pula tarian Mubeng Gumbeng yang merupakan Karya 3 Terbaik Jawa Timur 2018. Diramaikan pula dengan penampilan tari Joyonegoro Mbalelo yang dipunggawani oleh UKM Tari Unesa dan Laskar Sawunggaling. 

Hadir dalam pembukaan tersebut Danlanud Iswahjudi Marsma Samsul Rizal, Bupati Trenggalek Emilistianto Dardak serta sejumlah tamu dari Bakorwil I Madiun. Tampak pula sejumlah warga negara asing yang hadir menyaksikan pembukaan ini. Ribuan warga juga tampak antusias menyaksikan gelaran setahun sekali yang digelar oleh Pemkab Ponorogo ini. 

Ketua Panitia Grebeg Suro 2018 yang juga Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Ponorogo Lilik Slamet Raharjo mengatakan, pada FNRP kali ini terdapat 32 grup reyog yang menjadi peserta. Sebanyak 16 grup dari Ponorogo dan 16 Grup dari luar Ponorogo. Sedangkan untuk FRM, pesertanya sejumlah 33 grup dengan rincian 21 grup dari masing-masign kecamatan dan sisanya dari berbagai sekolah di Ponorogo. 

Acara pembukaan Grebeg Suro 2018 diakhiri dengan pesta kembang api. Saat itu pula FRM ke-16 dimulai dengan tampilnya dua peserta FRM dari Lanud Iswahjudi dan dari Kecamatan Badegan. [dil/but]

Posted on by Reonald Septiano | No comments

Warok Suro Menggolo


Warok Suromenggolo adalah salah satu warok yang terkenal kesaktiannya dan sifatnya yang ksatria. Di kisahkan pada zaman dulu Kadipaten Trenggalek rusuh dan tidak tentram karena sering terjadi pencurian, perampokan dan keonaran. Adipati Trenggalek meminta tolong seorang Warok Gunaseco atau Ki Secodarmo untuk menumpas para permbuat onar tersebut dan berhasil. Kadipaten Trengalek kembali tentram dan damai. Sebagai tanda terima kasih, Adipati Trenggalek memberikan hadiah dan ganjaran kepada Ki Secodarmo dan kerabat serta murid-muridnya, bahkan anak Ki Secodarmo yang bernama Roro Suminten diangkat menjadi menantu dan akan dipersandingkan dengan putra Sang Adipati yang bernama Raden Subroto.


Tetapi, diam-diam Raden Subroto menghilang dari kadipaten karena dia tidak bersedia menjalani perkawinan dengan Roro Suminten. Akibatnya, Ki Secodarmo dan kerabat yang telah menyiapkan pesta perkawinan sangat terpukul, bahkan Roro Suminten, calon pengantin menjadi gila…
Dalam pengembaraannya, Raden Subroto bertemu dengan Roro Warsiyani (Cempluk), anak Ki Suromenggolo, Warok dari Desa Ngampal keduanya pun saling jatuh cinta. Ki Suromenggolo senang menerima lamaran Raden Subroto, kemudian keduanya dipersandingkan menjadi suami isteri. Selajutnya, pengantin Subroto dan Cempluk boyong ke kadipaten Trenggalek. Dalam acara pesta penyambutan, Roro Suminten yang gila datang dan ikut menari kegirangan. Semua orang melihat, tapi tak ada yang mengenalinya sebagai Roro Suminten.
Warok Singo Korba, adik seperguruan Secodarmo merasa sakit hati melihat Cempluk bersanding bahagia. Di benaknya, Singo Kobra menganggap Cempluk sebagai penyebab gagalnya perkawinan dan gilanya Suminten. Dalam liputan dendam, Singo Korba menusuk Cempluk dengan keris saktinya lalu menghilang. Pesta menjadi hiruk pikuk dan gempar melihat Cempluk yang terkapar tak berdaya dan bermandi darah. Karena saktinya, Warok Suromenggolo dapat menyembuhkan Cempluk dengan batuna pusaka Ruyung Bang pemberian gurunya sang Batara Katong.
Melihat puteri kesayangannya di sakiti Suromenggolo tidak terima. Dia mencari Singo Kobra untuk membalas dendam. Dalam pencariannya Suromenggolo bertemu dengan Ki Secodarmo. Maka terbongkarlah duduk permasalahan yang sebenarnya. Namun begitu perkelahian tetap terjadi antara keduanya yang berakhir dengan tewasnya Ki Secodarmo. Singo kobra melihat kakak seperguruannya terbunuh ikut belah pati dengan menantang Suromenggolo duel yang menyebabkan Singo Kobra terbunuh dengan pusakanya sendiri.
Karena kebesaran hatinya, Warok Suromenggolo dengan kesaktiannya menyembuhkan Suminten dan meminta Raden Subroto untuk mengawini Suminten sebagai istri kedua. The End.

Kisah Cinta Roro Suminten dan Raden Subroto dalam Warok Suromenggolo


Warok Suromenggolo merupakan salah seorang pembesar pasukan (manggala) yang berasal dari Kadipaten Ponorogo, Jawa Timur. Sisi kehidupannya penuh intrik politik namun menyimpan kisah cinta yang cukup romantis. Anak Suromenggolo bernama Roro Warsiyani yang mencintai Raden Subroto anak Adipati Ponorogo dipentaskan dengan apik lewat pagelaran seni dan teatrikal tradisional bertitel Warok Suromenggolo. Para pemain yang memainkan seni teater Dongkrek ini dimainkan oleh Paguyuban Reog Ponorogo Jabodetabek di Sasono Langen Budaya, Taman Mini Indonesia Indah pada Juli lalu.
Ponorogo sebagai kadipaten dari Kerajaan Majapahit di masa kekuasaan Bhre Kertabumi yang bergelar Brawijaya V (1468-1478), menyimpan sejarah mengenai sosok Raden Panembahan Batara Katong adik dari Raden Patah, Sultan Demak. Raden Batara Katong sendiri mempunyai sosok pengawal (manggala) kerajaan yang amat setia bernama Warok Suromenggolo, yang sakti mandraguna. Ponorogo dibawah pemerintahan Adipati Raden Batara Katong, mengalami kemajuan dan kemakmuran, Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Karto Rahajo. Namun ketika ia sudah menua, kepemimpinan beralih kepada anaknya, Panembahan Agung.
Banyak intrik yang akan dilancarkan untuk memberontak kepada Panembahan Agung. Warok yang terkenal selain Suromenggolo antara lain, Suro Handoko,Gunoseco, Honggojoyo, dan Sino Kobra, ingin memberontak dan maksud ini diendus oleh Suromenggolo. Suromenggolo bertekad mempertahankan kepemimpinan yang ada.
Dalam teater Dongkrek ini, dikisahkan Jin Kluntung Wuluh menari diiringi bala tentaranya yang melingkar mengitari dengan gerak loncat kesana kemari. Kemudian muncul sosok tokoh pemuda memerankan Jin Kluntung Mungil dengan muka yang sangar mengadu kepada ayahnya Jin Kluntung Wuluh, bahwa dirinya ingin menikahi seorang wanita anak manusia. Namun sang Kluntung Mungil malah menampar anaknya.
Si Jin Kluntung Mungil ditolak untuk menikahi Cempluk atau Roro Warsiyani anak  Suromenggolo. Sang ayah Kluntung Wuluh mengatakan kepada anaknya, "Anak polah bopo kepradah, anak bertingkah bapaknya ikut terkena imbasnya".
Atas masalah anaknya, sang ayah Kluntung Wuluh mencoba membangunkan seorang petapa yakni Warok Suro Handoko, dengan mengeluarkan ilmu sakti yang dimiliki Jin Kluntung Wuluh, Warok Surohandoko pun terbangun dari pertapaannya dan membuat pasukan jin kocar-kacir.
Warok Surohandoko yang terbangun kemudian meminta kepada Raja Jin Kluntung Wuluh penguasa Gunung Dloka, untuk menjadikan dirinya seorang Warok yang paling unggul di wilayah Ponorogo, dengan mengalahkan kakaknya warok Suromenggolo. Raja Jin Kluntung Wuluh kemudian memberikan syarat bahwa Anaknya harus bisa menikah dengan Cempluk, anak dari Warok Suromenggolo.
 
Sebuah pusaka diberikan oleh Jin Kluntung Wuluh kepada Warok Surohandoko, berupa Aji dawet upas, berupa minuman yang berbahan cendol yang terbuat dari mata manusia. Melalui Aji Dawet Upas, Suromenggolo akan menderita luka bakar dan jatuh pingsan.
Warok Suromenggolo yang berpegang teguh dengan ajaran kemanusiaan, bertempur dengan adiknya Warok Surohandoko. Keduanya menggunakan kekuatan kanuragannya dan senjata yang sama yakni kolor sakti. Warok Suromenggolo memenangkan pertarungan itu.
Kemudian para penari jatilan masuk ke panggung, terdiri dari 8 orang penari putra dan 8 orang penari putri. Mereka saling bergantian menari antara putra dan putri. Diantara mereka juga terjadi parodi-parodi yang menyebabkan penonton tertawa. Sampai akhirnya masuklah reog ke atas panggung berputar-putar menari dan beratraksi.
Adegan dilanjutkan dengan Roro Suminten yang masuk ke panggung. Roro Suminten merupakan anak dari Warok Gunaseco yang mencintai Raden Subroto. Namun Warok Suromenggolo mengatakan kepada Roro Suminten bahwa Raden Subroto tidak mencintai Roro Suminten melainkan mencintai Roro Warsiyani (Cempluk). Mendengar cerita tersebut, Roro Suminten pun pingsan, tersadar dan menangis meratapi Raden Subroto. Persiapan perkawinan menjadi gagal dan undangan tersebar luas, akhirnya Roro Suminten menjadi gila. Keluarga Warol Gunaseco pun menjadi dendam, berkeinginan untuk membunuh Cempluk.
Terjadilah mediasi antara Warok Suromenggolo dan Gunaseco. Si Suromenggolo berdebat dengan Warok Gunaseco terkait dosa Cempluk, sehingga harus dibunuh. Mediasi menemui jalan buntu dan berakhir dengan perkelahian keduanya. Ketika Warok Gunaseco mulai kalah munculah Warok Surohandoko dengan menyiramkan Aji Dawet Upas ke muka Warok Suromenggolo mengenai mata Warok Suromenggolo. Namun luka tersebut sembuh seketika dengan pusaka Ruyung Bang pemberian sang Guru Batara Katong. Warok Suromenggolo akhirnya mengajak duel keduanya. Ketika keduanya hampir kalah, munculah Warok Singobowo dari Perguruan Argo Wilis, mendamaikan ketiganya yang bertikai.
Tak lama kemudian, Roro Suminten yang gagal menikah dengan Raden Subroto, hadir diatas panggung dengan istrinya Roro Warsiyani (Cempluk) muncul ke atas panggung, dengan menggunakan jaran kepang (kuda lumping) dan berceloteh tak tahu arah, layaknya orang gila. Perlahan-lahan Roro Suminten mulai sadar dari gilanya, berkat kesaktian Warok Suromenggolo. Setelah sembuh, Warok Suromenggolo meminta Raden Subroto untuk mempersunting Roro Suminten sebagai istri keduanya. [AhmadSirojuddin/IndonesiaKaya]




Posted on by Reonald Septiano | No comments