ASAL
USUL TELAGA NGEBEL
Ponorogo adalah salah satu kabupaten di jawa Timur, selain terkenal dengan
Reognya, juga terkenal dengan telaga Ngebelnya yang sejuk, asri, dan siap
memanjakan pengunjungnya. Bila Anda mampir ke Ponorogo, belum lengkap bila
belum menengok salah satu tempat wisata paling legendaris dan paling populer di
sana yaitu telaga ngebel.
Telaga ini berada di kecamatan Jenangan, daerah Ponorogo Timur yang
berdekatan dengan gunung Wilis. Ngebel sendiri berasal dari bahasa Jawa,
‘ngembel‘ atau berair. Karena, jaman dahulu, ada seorang Wara’i atau orang yang
sakti ilmu kanuragan dan ilmu agamanya melewati suatu daerah di kawasan
Ponorogo dan melihat fenomena tanah yang berair itu. Maka sang Wara’i pun
berujar;
“Ana sak wijining jaman, tlatah iki kasebut Ngembel_Suatu saat daerah ini
bernama Ngembel”
Tapi karena lidah yang salah kaprah dalam waktu yang lama dan turun
temurun, maka Ngembel pun berubah menjadi Ngebel.
Masyarakat Ngebel sendiri memiliki dongeng tentang asal muasal Telaga yang
menjadi icon Ponorogo tersebut. Dongeng tersebut adalah sebagai berikut.
Jaman dahulu kala, ada sepasang suami istri yang tinggal di suatu kampung
yang melahirkan anak seekor ular naga. Naga itu diberi nama Baru Klinting.
Melihat keanehan wujud Baru Klinting ini, mereka tak berani tinggal di kampung
tersebut karena takut menjadi bahan gunjingan tetangga.Mereka pun mengungsi ke
puncak gunung untuk mengasingkan diri dan memohon pada dewa agar mengembalikan
rupa putra mereka ke wujud manusia.
Doa itu pun didengar. Syarat yang harus dilakukan oleh Baru Klinting
adalah melakukan pertapaan selama 300 tahun dengan cara melingkarkan tubuhnya
di gunung Semeru. Sayang, panjang tubuhnya kurang sejengkal untuk bisa
melingkari seluruh gunung. Maka, untuk menutupi kekurangan itu, ia
menyambungkan/ menjulurkan lidahnya hingga menyentuh ujung ekornya.
Rupanya, syarat untuk menjadi manusia tak hanya itu. Dewa meminta sang
Ayah agar memotong lidah Baru Klinting yang sedang bertapa tersebut. Baru
Klinting yang bersemedi tak menolak toh demi kebaikannya agar menjadi manusia.
Saat waktu bertapa hampir selesai, ada kepala kampung yang akan menikahnya
anaknya. Kepala kampung pun sibuk mempersiapkan segala sesuatunya, terlebih
lagi soal hidangan. Konon, mereka akan menggelar pesta pernikahan yang sangat
mewah dan sangat besar. Untuk menutupi kekurangan bahan makanan, secara
sukarela warga pun membantu berburu di hutan. Ada yang mencari buah-buahan,
ranting/ kayu bakar hingga hewan buruan seperti rusa, kelinci, maupun ayam
hutan.
Sudah beberapa lama warga berburu,namun tak mendapatkan hasil buruan
apapun
Tanpa sengaja, ada segolongan warga yang istirahat karena lelah berburu
mengayunkan parangnya pada pokok pohon tumbang. Namun, alangkah kagetnya mereka
ternyata parang itu malah berlumuran darah. Dari pokok pohon tumbang itu
mengucur darah segar. Bahkan, mereka baru sadar kalau yang mereka tebas tadi
bukan pohon tumbang tetapi ular raksasa/ ular naga. Melihat hal ini, warga pun
beramai-ramai mengambil dagingnya untuk dimasak dalam pesta pernikahan
tersebut.
Hari pesta pernikahan anak kepala kampung adalah hari berakhirnya pertapaan
Baru Klinting. Benar saja, naga itu berubah wujud menjadi anak kecil.
Sayangnya, si anak mengalami kesusahan dalam berbicara karena lidanya dipotong
sebagai syarat menjadi manusia. Tak hanya itu, tubuhnya penuh dengan borok yang
membusuk lantaran saat bertapa tubunya disayat-sayat untuk diambil dagingnya
oleh warga sebagai bahan pesta.
Lalu, anak itu pun mendatangi pesta kepala kampung. Anak itu kelaparan dan
memohon agar diberi makanan. Namun, tak satu pun warga yang memedulikannya.
Warga malah mengejek dan mengusir anak kecil itu. Melihat nasib anak itu,
seorang wanita tua merasa kasihan dan membawanya pulang. Lalu si anak diberi
makan dengan lauk berupa daging yang diterima dari pesta kepala kampung. Si
anak pun makan dengan lahap tapi dia tak mau memakan daging itu.
“Bu, tadi saya pikir sudah tak ada lagi orang baik di kampung ini.
Rupanya, masih ada orang seperti Anda. Bu tolong siapkan lesung (kayu tempat
menumbuk padi) bila terjadi sesuatu ibu segeralah naik lesung tersebut” Begitu
pesan Baru Klinting selesai makan. Si wanita tua itu pun menuruti ucapan Baru
Klinting tanpa banyak pertanyaan kenapa, Lalu, Baru Klinting pun kembali ke
tempat pesta.
“Wahai warga semua, lihatlah di tanganku. Aku memiliki sekerat daging.
Jika kau mampu memenangkan sayembara yang kuadakan, maka ambillah daging ini.
Namun, jika kalian tak mampu, maka berikanlah semua daging yang kalian masak
padaku” ucap Baru Klinting.
Warga pun mencoba satu persatu tapi semuanya tak mampu mencabut sebatang
lidi tersebut. Sayangnya, warga tetap tak mau mengembalikan daging yang telah
mereka masak.
“Lihatlah ketamakan kalian wahai manusia. Lihatlah ketidak pedulian kalian
pada sesama, pada manusia yang cacat sepertiku. Bahkan kalian tidak mau
mengembalikan hakku! Ketahuilah, daging yang kalian masak itu adalah dagingku
saat aku menjadi ular naga. Maka, kalian berhak mendapatkan balasan setimpal!”
Baru Klinting pun segera mencabut lidi tersebut.
Keanehan pun terjadi. Dari lidi itu mengucur air, terus menerus hingga
menenggelamkan kampung tersebut.
Genangan air itupun berubah menjadi telaga, Sedang orang tua yang memberi
makan baru klinting selamat karena naik lesung. Bahkan sejak itu pula, Baru
Klinting berubah lagi menjadi ular dengan melingkarkan tubuhnya di dasar telaga
yang bentuknya menyempit di bagian bawah itu.Saat ini, telaga itu masuk daerah
Ngebel sehingga terkenal dengan telaga Ngebel.
0 komentar:
Posting Komentar